Oleh GINANDJAR KARTASASMITA
Perjalanan Presiden Joko Widodo ke tiga negara untuk tiga tujuan berbeda menarik perhatian, tidak hanya kita di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional.
Salah satu judul artikel Nikkei Asia beberapa waktu yang lalu sangat menarik: ”Jokowi On the Big Stage”, yang penulis jadikan tema dan judul tulisan ini dan sengaja tidak penulis terjemahkan. Selain itu juga banyak komentar di beberapa media internasional lain yang isinya kurang lebih serupa.
Presiden Jokowi telah hadir secara meyakinkan di pertemuan KTT G-20 di Roma, tidak hanya mewakili Indonesia sebagai anggota, tetapi juga mengambil alih kepemimpinan dan menjadi tuan rumah dan ketua G-20 berikutnya.
Dalam COP 26 di Glasgow, Presiden Jokowi diapresiasi membawakan suara dunia berkembang agar dalam upaya bersama mengatasi masalah perubahan iklim negara-negara maju jangan hanya mengumbar janji, tetapi menunjukkan langkah nyata khususnya soal pendanaan dan alih teknologi.
Di Uni Emirat Arab (UEA), Presiden Jokowi menunjukkan konsistensinya pada pendirian bahwa bagaimanapun pentingnya forum kerja sama internasional, prioritas utama tetap pada pembangunan ekonomi, yang membutuhkan investasi.
Dalam berbagai pertemuan di luar negeri, kawan-kawan penulis, pengamat, dan intelektual mempertanyakan kenapa selama pemerintahan Jokowi, Indonesia—negara yang penduduknya terbesar keempat dan salah satu ekonomi terbesar di dunia—sedikit sekali mengambil inisiatif dan peran internasional dibanding presiden-presiden sebelumnya, baik pada masa Bung Karno yang menjadi pemimpin dunia ketiga, Pak Harto sebagai pendiri dan pimpinan de facto ASEAN, maupun selama masa SBY dengan dialog demokrasinya.
Jawaban penulis selalu sama, bahwa Presiden Jokowi ingin mendahulukan upaya menyejahterakan rakyat lewat pembangunan ekonomi, terutama infrastruktur dan pembangunan manusia yang pada hakikatnya adalah pembangunan ekonomi seperti pendidikan dan kesehatan.
Warisan
Berbagai data dan statistik menunjukkan keberhasilan Presiden Jokowi pada periode pertama kepresidenannya, termasuk penurunan angka kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan konektivitas dan pembangunan wilayah. Di awal periode kedua momentum kemajuan itu terdisrupsi, terhalang, atau bahkan menurun karena pandemi Covid-19, termasuk rencana pemindahan ibu kota negara.
Seluruh daya dan upaya difokuskan pada kegiatan mengatasi pandemi itu pada dua dimensi. Dimensi pertama di bidang kesehatan, yakni mencegah penularan dan menyembuhkan yang terpapar. Dimensi kedua menjaga agar ekonomi tetap berjalan dan secara bertahap dapat pulih kembali.
Dalam kedua dimensi tersebut, fakta menunjukkan keberhasilan. Penulis tidak akan menampilkan angka-angka, tetapi berbagai organisasi internasional termasuk yang berlatar belakang akademik menyatakan bahwa penanganan pandemi di Indonesia termasuk yang terbaik di dunia. Kini kita sedang siap-siap menangani Covid-19, bukan sebagai pandemi melainkan endemi, meskipun tetap harus waspada menghadapi kemungkinan munculnya varian baru.
Memasuki pertengahan kepemimpinan periode kedua Presiden Jokowi, tidak mungkin seorang yang berpikir obyektif menafikan berbagai kinerja itu, katakanlah dibandingkan kinerja negara lain sekawasan, maupun peer countries lain.
Sekarang, seperti diungkapkan oleh berbagai media internasional, antara lain yang penulis unduh di atas, Presiden Jokowi sudah memasuki kancah percaturan internasional. Dengan performa yang ditampilkan dalam ketiga event tersebut, peran dan kepemimpinan internasional Presiden Jokowi akan berlangsung dan beranjak terus. Tahun 2022 Indonesia akan menjadi ketua dan tuan rumah KTT G-20 dan tahun 2023 ASEAN Summit.
Presiden Jokowi diharapkan dapat menakhodai peran Indonesia sebagai penenang dalam situasi internasional, khususnya Asia Pasifik yang sangat tak menentu. Memang semua kekuatan di wilayah ini, khususnya China dan Amerika Serikat, menyatakan tidak ingin terjadi eskalasi. Tetapi masalah Taiwan dan Laut China Selatan sangatlah rawan dan retorika yang kita dengar tidak meredam kekhawatiran akan terjadinya konflik. Belum lagi faktor Korea Utara dengan senjata nuklirnya.
Di Asia Tenggara ada masalah Myanmar yang tidak hentinya menjadi duri dalam daging. Di masa lalu Indonesia berperan besar dalam meredakan ketegangan di kawasan ini, diharapkan peran itu dapat dipulihkan kembali.
Penuh harapan kita pada kepiawaian Presiden Jokowi menavigasi situasi internasional dan regional dalam dua tahun mendatang. Ditambah lagi upaya bersama yang diperlukan untuk menuntaskan perang melawan pandemi Covid-19 dan membangun kembali perekonomian dunia. Terutama penanganan masalah utang yang akan menjadi beban berat ekonomi banyak negara di tahun-tahun ke depan.
Kerja sama ekonomi bilateral, salah satunya yang utama adalah dengan Jepang, perlu direkonstruksi ulang, memprioritaskan bukan hanya investasi dan perdagangan, melainkan juga teknologi dan lingkungan hidup.
Semua itu, prestasi di bidang ekonomi dan keberhasilan penanganan pandemi serta peran yang makin nyata di dunia internasional dan regional, ASEAN maupun Indo-Pasifik, akan membentuk legacy (warisan) kepemimpinan Jokowi sebagai presiden.
Lonceng pengingat
Namun, dalam napas yang sama harus diakui bahwa di samping kemajuan yang telah dicapai masih banyak masalah yang harus dihadapi atau bermunculan masalah baru. Kita lihat sendiri dan juga dengar keluhan masyarakat betapa beratnya persoalan yang kita hadapi sebagai bangsa. Kita rasakan berbagai kekecewaan dan harapan yang belum terpenuhi. Salah satu suara yang menggelitik datang dari Buya Syafii Maarif dalam kolom opini harian ini.
Buya adalah tokoh pendidik, pemuka agama, dan cendekiawan yang sangat dihormati masyarakat. Kegundahan beliau patut jadi renungan, apalagi beliau sekarang adalah bagian dari institusi pemerintahan sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang diketuai Ibu Megawati Soekarnoputri, presiden kelima.
Berbagai kritik dan introspeksi, seperti yang diutarakan Buya, jangan membuat kita lemas dan hilang percaya diri. Kita harus terima sebagai lonceng pengingat dan cambuk untuk perbaikan.
Semua negara di dunia betapa pun majunya tidak ada yang tidak menghadapi masalah. Contoh, Amerika Serikat, negara adikuasa yang sudah berdiri sekitar 250 tahun, harus melewati berbagai konflik dahsyat mulai dari perang saudara, dua perang dunia, serta perang-perang besar yang menelan banyak korban seperti di Korea dan Vietnam.
Lihat saja betapa gaduhnya Pilpres 2020 mereka yang sampai sekarang masih berbuntut. Nilai-nilai keadilan, kebebasan, hak asasi manusia masih menjadi masalah besar di negara yang menjadi acuan bangsa-bangsa di dunia dalam berdemokrasi, sistem ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan pola dan gaya hidup tersebut.
Adab
Dalam melihat perkembangan dewasa ini sah-sah saja kalau ada perbedaan perspektif. Demokrasi memungkinkan kita untuk berbeda pandangan, bahkan adanya perbedaan adalah ciri demokrasi. Tantangannya adalah menjaga demokrasi agar betul-betul menjadi jalan terbaik untuk membangun masa depan dan menyelesaikan masalah.
Kontestasi politik boleh keras dan tajam, tetapi ada aturannya, ada moralnya, singkat kata ada adabnya.
Adab inilah yang sering kali diabaikan atau terabaikan dan karenanya perlu selalu diingatkan. Utamanya ruang dan wilayah publik harus dihormati, kepentingan publik haruslah sacrosanct tidak boleh dinodai dan dilanggar, apalagi dengan menggunakan legitimasi yang dipercayakan oleh publik.
Seperti diisyaratkan Winston Churchill, demokrasi bukanlah sistem yang terbaik, tetapi belum ditemukan yang lebih baik. Maka, marilah kita upayakan untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya dengan cara- cara yang terhormat serta tak mencederai nilai-nilai kebenaran dan kepatutan yang jadi ciri budaya bangsa kita.
Ginandjar Kartasasmita
Mantan Menko Ekuin/Ketua Bappenas
Sumber: Kompas.id